Istilah “peradaban Islam” merupakan terjemahan dari  kata Arab, yaitu al-Hadharah al-Islamiyyah. Istilah Arab ini sering juga  diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “kebudayaan Islam”.  Padahal, istilah kebudayaan dalam bahasa arab adalah al-Tsaqafah. Di  Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang  mensinonimkan dua kata : “kebudayaan” (Arab/al-tsaqafah dan  culture/Inggris) dengan “peradaban” (civilization/Inggris dan  al-hadharah/Arab) sebagai istilah baku kebudayaan. Dalam perkembangan  ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan  adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat.  Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan tekhnis dan teknologis lebih  berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak di reflesikan  dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka peradaban terefleksi  dalam politik, ekonomi dan teknologi.
Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud,  (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide,  gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud  kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas  kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda,  yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.
Peradaban dalam Islam, dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan  Rasulullah, para sahabat (Khulafaur Rasyidin),dan sejarah kekhalifahan  Islam sampai kehidupan umat Islam sekarang. Islam yang di wahyukan  kepada Nabi Muhammad saw telah membawa bangsa arab yang semula  terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan di abaikan oleh bangsa-bangsa  lain, menjadi bangsa yang maju. Bahkan kemajuan Barat pada mulanya  bersumber pada peradaban islam yang masuk ke eropa melalui spanyol.  Islam memang berbeda dari agama-agama lain, sebagaimana  pernah   diungkapkan oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya Whither Islam kemudian  dikutip M.Natsir, bahwa, “Islam is andeed much more than a system of  theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari  sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna).   Landasan “peradaban islam” adalah “kebudayaan islam” terutama wujud  idealnya, sementara landasan “kebudayaan islam” adalah agama. Jadi,  dalam islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi”  (nonsamawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan  kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa  manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari tuhan.
Maju mundurnya peradaban islam tergantung dari sejauh mana dinamika   umat islam itu sendiri. Dalam sejarah islam tercatat, bahwa salah satu  dinamika umat islam itu dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan islam  diantaranya Umayah dan Abbasiyah, Umayah dan Abbasiyah memiliki  peradaban yang tinggi, diantaranya memunculkan ilmuwan-ilmuwan dan para  pemikir muslim.
Dalam diskusi kali ini, saya akan membahas peradaban islam pada masa  Dinasti Abbasiyah dengan topik bahasan diantaranya, latarbelakang  berdirinya kekhalifahan Abbasiyah, kemajuan dan kemunduran pada masa  ini, baik dari aspek ekonomi, politik, dan social.  
Latar Belakang Berdirinya Abbasiyah  (750-847 M –  132-232 H)
Awal kekuasaan Dinasti Bani Abbas ditandai dengan pembangkangan yang  dilakukan oleh Dinasti Umayah di Andalusia (Spanyol). Di satu sisi, Abd  al-Rahman al-Dakhil bergelar amir (jabatan kepala wilayah ketika itu);  sedangkan disisi yang lain, ia tidak tunduk kepada khalifah yang ada di  Baghdad. Pembangkangan Abd al-Rahman al-Dakhil terhadap Bani Abbas mirip  dengan pembangkangan yang dilakukan oleh muawiyah terhadap Ali Ibn Abi  Thalib. Dari segi durasi, kekuasaan Dinasti Bani Abbas termasuk lama,  yaitu sekitar lima abad.
Abu al-Abbas al-Safah (750-754 M) adalah pendiri dinasti Bani Abbas.  Akan tetapi karena kekuasaannya sangat singkat, Abu ja’far al-Manshur  (754-775 M) yang banyak berjasa dalam membangun pemerintahan dinasti  Bani Abbas. Pada tahun 762 M, Abu ja’far al-Manshur memindahkan ibukota  dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi ke Baghdad dekat  dengan Ctesiphon, bekas ibukota Persia. Oleh karena itu, ibukota  pemerintahan Dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.
Abu ja’far al-Manshur sebagai pendiri muawiyah setelah Abu Abbas  al-Saffah, digambarkan sebagai orang yang kuat dan tegas, ditangannyalah  Abbasiyah mempunyai pengaruh yang kuat. Pada masa pemerintahannya  Baghdad sangatlah disegani oleh kekuasaan Byzantium.
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah, melanjutkan  kekuasaan dinasti Umayah. Dinamakan khilafah  Abbasiyah karena para  pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi  Muhammad saw. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,  dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M).
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan  berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social dan budaya.  Berdasarkan pola pemerintahan dan pola politik itu para sejarawan  biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode :
1.    Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode  pengaruh Persia  pertama.
2.    Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh  Turki pertama.
3.    Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan  dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini  disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4.    Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan  dinasti Bani sejak dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya  disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5.    Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas  dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar  kota Baghdad.
Kemajuan Dinasti Bani Abbas
Setiap dinasti atau rezim mengalami fase-fase yang dikenal dengan fase  pendirian, fase pembangunan dan kemajuan, fase kemunduran dan  kehancuran. Akan tetapi durasi dari masing-masing fase itu berbeda-beda  karena bergantung pada kemampuan penyelenggara pemerintahan yang  bersangkutan.
Pada masa pemerintahan, masing-masing memiliki berbagai kemajuan dari  beberapa bidang, diantaranya bidang politik, bidang ekonomi, bidang  sosial. Pada masing-masing bidang memiliki kelebihan dan kekurangan.
1.    Bidang Politik
Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan  politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas  sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan ini seperti sisa-sisa Bani  Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-khawarij di Afrika  utara, gerakan zindik di Persia, gerakan Syi’ah dan konflik antar bangsa  serta aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
2.    Bidang Ekonomi
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai nmeningkat dengan peningkatan di  sector pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan  seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit  antara timur dan barat juga banyak membawa kekayaan. Bahsrah menjadi  pelabuhan yang penting.
3. Bidang Sosial
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai  puncaknya di  zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mun  (813-833 M). kekayaan yang banyak di manfaatkan Harun Al-Rasyid untuk  keperluan social. Rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi  didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak 800 orang dokter.  Disamping itu pemandian-pemandian juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang  paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini, kesejahteraan social,  kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta  kesusastraan berada pada zaman keemasannya.
Pemerintahan bani Umayah adalah pemerintahan yang memiliki wibawa yang  besar sekali, meliputi wilayah yang amat luas, mulai dari negeri sind  dan berakhir di negeri Spanyol. Ia demikian kuatnya sehingga apabila  seseorang menyaksikannya, pasti akan berpendapat bahwa usaha  mengguncangkannya adalah sesuatu yang tidak mudah bagi siapapun. Namun  jalan yang ditempuh oleh pemerintahan Bani Umayyah, meskipun ia dipatuhi  oleh sejumlah besar manusia yang takluk kepada kekuasaannya, tidak  sedikitpun memperoleh penghargaan dan simpati dalam hati mereka. Itulah  sebabnya belum sampai berlalu satu abad dari kekuasaan mereka, kaum Bani  Abbas berhasil menggulingkan singgasananya dan mencampakannya dengan  mudah sekali. Dan ketika singgasana itu terjatuh, demikian pula para  rajanya, tidak seorangpun yang meneteskan air mata menangisi mereka.
Adapun penyebab keberhasilan kaum penganjur berdirinya Khilafah Bani  Abbas ialah karena mereka berhasil menyadarkan kaum muslimin pada  umumnya, bahwa Bani Abbas adalah keluarga yang paling dekat kepada Nabi  saw, dan bahwasanya mereka akan mengamalkan al-Qur’an dan Sunnah rasul  dan menegakkan syari’at Allah.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun  oleh Abu al Abbas dan Abu ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasan dari  dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi  (775-785 M), al-Hadi (775-786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Ma’mun  (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan  al-Mutawakkil (847-861 M).
Kalifah Harun al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang mencintai seni dan  ilmu. Ia banyak meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan kalangan  ilmuwan dan mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap seni.
Al-Rasyid mengembangkan satu akademi Gundishapur yang didirikan oleh  Anushirvan pada tahun 555 M. pada masa pemerintahannya lembaga tersebut  dijadikan sebagai pusat pengembangan dan penerjemahan bidang ilmu  kedokteran, obat dan falsafah.
Dari gambaran diatas terlihat bahwa, Dinasti Bani Abbas pada periode  pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam  daripada perluasan wilayah. disinilah perbedaan pokok antara Bani Abbas  dan Bani Umayyah.
Kehancuran Dinasti Bani Abbas
Berakhirnya kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau khalifah Abbsiyah  merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah  Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan suatu dinasti tertentu,  walaupun banyak sekali Dinasti islam berdiri. Ada diantaranya dinasti  yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para  khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di  Baghdad sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini  menunjukan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan  tatar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancurluluhkan  tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan  tentara Mongol ini adalah awal babak baru dalam sejarah islam, yang  disebut masa pertengahan.
Sebagaimana dalam periodisasi khalifah Abbasiyah, masa kemunduran  dimulai sejak periode kedua, namun demikian factor-faktor penyebab  kemunduran itu tidak dating secara  tiba-tiba, benih-benihnya sudah  terlihat pada periode pertama, hanya khalifah pada saat periode ini  sangat kuat, benih-benih ini tidak sempat berkembang. Dalam sejarah  kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila kalifah kuat, para mentri  cenderung berperan sebagai pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah,  mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak factor yang menyebabkan khalifah  Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing factor tersebut saling berkaitan  satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
1.    Persaingan Antarbangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan  orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib  kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-saama  tertindas. Setelah khilafah Abbasiyyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap  mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska,11 ada dua sebab  dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab.  Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada  masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab  sendiri terpecah belah dengan adanya Ashabiyyah kesukuan. Dengan  demikian, khilafah Abbasiyyah tidak ditegakkan di atas `ashabiyyah  tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka  menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula.  Sementara itu, bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di  tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah  bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyyah pada periode pertama sangat  luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir,  Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa  Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut  elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat.12 Akibatnya,  disamping Fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain  yang melahirkan gerakan syu`ubiyah.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah  dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyyah berdiri. Akan tetapi, karena  para khalifah adalah orang-orang kuat  yang mampu menjaga keseimbangan  kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah Al-Mutawakkil,  seorang khlaifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara turki tak  terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya telah  berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini  kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia pada periode ketiga dan  selanjutnya beralih kepada dinasti Saljuk pada periode keempat.
2.    Kemerosotan Ekonomi
Khalifah Abbasiyyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi bersamaan  dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan  Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih  besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta.  Pertambahan dana yang besar diperoleh dari al-Kharaj, semacam pajak  hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan Negara menurun,  sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan  Negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan,  banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat,  diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang  memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran  membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan  pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam, dan para pejabat  melakukan korupsi.
3.    Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena  cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong  sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan  Mazdakisme. Gerakan ini dikenal dengan gerakan Zindiq yang menyebabkan  menurut para khalifah dan orang-orang yang beriman harus diberantas,  sehingga menyebabkan konflik diantara keduanya, mulai polemik tentang  ajaran hingga berlanjut kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah  dari kedua belah pihak.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung  dibalik ajaran Syi`ah, sehingga banyak aliran syi`ah yang dipandang  ghulat (ekstrem) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi`ah sendiri.  Aliran Syi`ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang  berhadapan dengan faham Ahlussunnah wal Jama`ah.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara  muslim dan zindik atau ahlussunnah dengan syi`ah saja, tetapi juga  antaraliran dalam Islam. Mu`tazilah yang  cenderung rasional dituduh  sebagai pembuat bidah oleh golongan salaf.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
“Agama Muhammad Saw. seperti juga Agama Isa as., terkeping-keping oleh  perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai  soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu  kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih  besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai  hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia…soal kehendak  bebas manusia …telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam  Islam…pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah  mustahil berbuat salah…menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga”.
4.    Ancaman dari luar
Apa yang disebutkan di atas adalah factor-faktor internal. Disamping  itu, ada pula factor-faktor eksternal yang menyebabkan khalifah  Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang salib yang  berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.  Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana  telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut  berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya.  Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen  yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara  komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon  yang tertarik dengan dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam  tentara Salib itu.13
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan  bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam  karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen  Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol  yang anti-Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab.  Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut  memperbaiki yerussalem.
Berbagai faktor yang telah menyokong tegaknya imperium Abbasiyah, yakni  kalangan elite imperium dan bentuk-bentuk kulturnya, sekaligus juga  menyokong kehancuran dan transformasi imperium tersebut. Bahkan  kemerosotan Abbasiyah telah berlangsung disaat berlangsung konsolidasi.  Ketika rezim ini sedang memperkuat militernya dan institusi  pemerintahan, dan sedang mendorong sebuah kemajuan ekonomi dan kultur,  terjadi beberapa peristiwa yang pada akhirnya mengharubirukan nasib  imperium Abbasiyah.
Semenjak awal pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) problem suksesi  menjadi sangat kritis. Harun telah mewasiatkan tahta kekhalifahan kepada  putra mertuanya, al-Amin, dan kepada putranya yang lebih muda yang  bernama al-Makmun, seorang gubernur Khurasan dan orang yang berhak  menjabat tahta khilafah sepeninggal kakaknya. Setelah kematian Harun,  al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya  sebagai penggantinya kelak. Akibatnya pecahlah perang sipil. Al-amin  didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Makmun harus  berjuang untuk memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan  dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-makmun berhasil mengalahkan  saudara tuanya, al-Amin , dan mengklaim khilafah pada tahun 813. Namun  peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer  Abbasiyah melainkan juga melemahkan warga iraq dan sejumlah propinsi  lainnya.
Al-Makmun berusaha menghadapi musuh-musuhnya dan sejumlah warga yang  tidak mau berdamai dengan sebuah kebijakan ganda. Satu sisi kebijakan   tersebut bertujuan untuk mempertahankan legitimasi kekhilafan dengan  menguasai seluruh urusan keagamaan. Kebijakan ini, sebagaimana yang  telah kita lihat, tidak membawa hasil dan gagal. Kebijakan ini justru  menghilangkan dukungan masyarakat umum terhadap sang khalifah.Al-Makmun  juga mengambil sebuah kebijakan politik, untuk menguasai kekhilafahan  secara mutlak, al-Makmun menggantungkan dukungan seorang panglima  khurasan, yang bernama Thahir, yang diberikan imbalan sebagai gubernur  khurasan (820-822) dan menjadi jenderal militer Abbasiyah diseluruh  imperium dan disertai janji bahwa jabatan-jabatan tersebut dapat  diwariskan kepada keturunannya, selain mendatangkan manfaat yang  bersifat sementara konsesi atas sebuah jabatan gubernur yang dapat  diwariskan menggagalkan tujuan Abbasiyah untuk menyatukan sebuah wilayah  propinsi besar menjadi sebuah system pemerintahan politik yang memusat  ditangan pemerintahan pusat. Upaya untuk menyatukan kalangan elit  dibawah arahan khalifah tidak akan terwujud dan sebagai gantinya  imperium dikuasai oleh sebuah persekutuan khalifah dengan kuasa  gubernuran besar.14







0 comments:
Post a Comment