Tidak dapat kita pungkiri, sebagai institusi terkecil dalam masyarakat, keluarga memilik pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan pembanguah bangsa. Hal ini terkait erat dengan fungsi keluarga sebagai wahana pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila pemerintah bersama-sama dengan segenap komponen masyarakat berkepentingan untuk membangun keluarga-keluarga di negara kita tercinta ini agar menjadi keluarga yang sejahtera yang dalam konteks ini kita maknai sebagai keluarga yang sehat, maju dan mandiri dengan ketahanan keluarga yang tinggi. Terlebih Badan Koordinasi Keluarga Berenca Nasional (BKKBN) sebagai motor penggerak Program KB di Indonesia, sekarang ini sangat berpihak pada upaya membangun keluarga sejahtera dengan visi dan misinya yang telah diperbaharuhi, yakni ”Seluruh Keluarga Ikut “KB” dan ”Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera”.
Keluarga
yang sejahtera, dengan demikian, tentu menjadi dambaan setiap orang untuk
mencapainya. Bukan saja karena dengan mencapai tingkat kesejahteraan tertentu, seseorang
akan dapat menikmati hidup secara wajar dan menyenangkan karena tercukupi kebutuhan
materill dan spirituilnya, tetapi dengan kondisi keluarga yang sejahtera setiap
individu didalamnya akan mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk berkembang
sesuai dengan potensi, bakat dan kemampuan yang dimiliki.
Membangun
keluarga sejahtera, telah banyak
diupayakan oleh berbagai pihak, termasuk
oleh semua keluarga di Indonesia. Pemerintah pun sebenarnya juga telah cukup lama
memberi perhatian pada masalah ini. Terbukti, sejak tahun 1994 lalu, pemerintah
telah mencanangkan ”Gerakan Membangun Keluarga Sejahtera” dengan sasaran pokok keluarga
Pra Sejahtera dan KS I alasan ekonomi yang sering dikategorikan sebagai keluarga
miskin.
Namun banyak di antara mereka yang gagal. Faktanya,hingga
saat ini, tidak kurang dari 26,4 juta keluarga di negeri ini tetap dalam
kondisi kurang sejahtera, bahkan tidak
dapat memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai pra syarat untuk dapat hidup secara
layak. Bila kita cermati, salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan
dan wawasan mereka tentang
kesejahteraan itu sendiri, hingga mereka tidak tahu langkah-langkah apa
yang efektif untuk mencapainya. Kurangnya wawasan dan pengetahuan tentang
kesejahteraa termasuk dalam perspektif agama juga telah menyebabkan mereka
memiliki pandangan yang keliru mengenai arti dari kesejahteraan itu sendiri.
Umumnya masyarakat masih menganggap bahwa keluarga yang sejahtera adalah
keluarga yang tercukupi kebutuhan materinya. Dalam arti, asalkan keluarga
tersebut memiliki harta yang banyak, rumah yang besar dan mewah, kendaraan dan
peralatan rumah tangga yang modern serta memiliki tabungan yang banyak, telah dianggap
sejahtera hidupnya, tanpa memikirkan hal-hal yang bersifat psikis.
Harus
disadari bahwa pandangan tersebut adalah pandangan yang keliru. Karena kesejahteraan keluarga tidak hanya diukur dengan kecukupan materi saja. Masih banyak syarat
lain yang harus dipenuhi. Kalau kita baca Bab I Pasal 1 Ayat 11 dari Undang
Undang No 10 Tahun 1992 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, maka kita akan
mengetahui bahwa keluarga yang sejahtera itu tidak hanya tercukupi kebutuhan
materiilnya, tetapi juga harus didasarkan pada perkawinan yang sah, tercukupi
kebutuhan spirituilnya, memiliki hubungan yang harmonis antar anggota keluarga,
antara keluarga dengan masyarakat sekitarnya, dengan lingkungannya dan sebagainya.
itu semua diperlukan untuk memperoleh kebahagiaan hidup sehingga hidupnya dapat
tenteram dan nyaman tanpa rasa was-was. Dapat kita bayangkan, bagaimana mungkin
sebuah keluarga mencapai kebahagiaan sejati walaupun berlebihan secara materi,
namun selalu dikejar rasa berdosa atau bersalah karena harta yang ia makan dan
ia gunakan merupakan hasil korupsi atau tindak kejahatan lainnya.Sungguh dalam
keluarga tersebut yang ada hanya rasa
was-was.takut, dan jiwa yang gersang sehingga
materi yang berlimpah hanya akan membuat hidupnya sengsara secara batiniah,
dalam arti kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang sebenarnya tidak akan
pernah tercapai.
Dengan
demikian, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup harus tercakup didalamnya adalah adanya rasa
tenteram, aman dan damai. Seseorang akan merasa bahagia apabila terpenuhi
unsur-unsur tersebut dalam kehidupannya. Sedangkan sejahtera diartikan sebagai keadaan
lahiriah yang diperoleh dalam kehidupan duniawi meliputi : kesehatan, sandang,
pangan, papan, paguyuban, perlindungan hak asasi dan sebagainya. Jadi seseorang
yang sejahtera hidupnya adalah orang yang memelihara kesehatannya, cukup
sandang, pangan, dan papan. Kemudian diterima dalam pergaulan masyarakat yang
beradab, serta hak-hak asasinya terlindungi oleh norma agama, norma hukum dan
norma susila.
Agama
Islam yang memiliki penganut terbesar di Indonesia, memandang bahwa pembangun
keluarga sejahtera merupakan upaya yang wajib ditempuh oleh setiap pasangan (keluarga) yang diawali dengan
perkawinan/pernikahan Islami. Karena perkawinan adalah hal mendasar dalam
pembentukan keluarga Islam. Tanpa perkawinan sesuai ajaran/ketentuan agama, mustahil sebuah keluarga akan mencapai
kesejahteraan yang diidamkan. Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT yang
menyebarkan agama Islam di bumi ini, memuji institusi tersebut sebagai bagian
dari sunah beliau.
Dengan
demikian, sebuah perkawinan harus betul-betul direncanakan dengan baik.
Termasuk dalam hal ini adalah dalam pemilihan pasangan hidup, yang bukan hanya
sekedar atas pertimbangan
kecantikan/kegantengannya atau pekerjaan dan status social ekonominya, tetapi
juga agama dan bibit, bobot dan bebet nya. Guna memaknai perkawinan, Al Qur’an
menggunakan istilah ”Mitsaqon Gholidhon”
yang artinya perjanjian yang teguh/kuat. Istilah tersebut pertama-tama menunjuk
pada perjanjian antara Allah SWT dengan para Nabi dan Rasul. Tetapi dalam Surat
An Nisaa’ Ayat 21 menunjuk pada perjanjian nikah. Dengan demikian, Al Qur’an menunjukkan
kesesuaian hubungan antara suami dan isteri, mirip dengan kesucian hubungan
antara Allah SWT dan manusia yang dipilihnya. Maka, perkawinan atau pernikahan
dipandang sebagai tugas, dan anak-anak dilihat sebagai salah satu wujud berkah
Allah SWT bagi suami isteri. Nabi Muhammad SAW menyebut perkawinan sebagai
”setengah ibadah”. Perkawinan bukanlah
suatu perkara duniawi belaka, karena hukum yang mengatur tak hanya dari
manusia, tetapi juga dari Allah SWT sendiri.
Perkawinan
menurut Islam juga dipandang sebagai perjanjian timbal balik yang menimbulkan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada suami dan isteri. Perkawinan adalah suatu persekutuan hidup demi pengesahan
hubungan seksual serta untuk mendapatkan keturunan/anak.Perkawinan yang
sembunyi-sembunyi atau kumpul kebo tidak dibenarkan sama sekali. Suami harus
menjadi pemimpin atau kepala keluarga yang bertanggung jawab atas nafkah dan
kesejahteraan isteri maupun anak.
Dalam
agama Islam, keluarga sejahtera disubstansikan dalam bentuk keluarga sakinah.
Pengertian keluarga sakinah diambil dan berasal dari Al Qur’an, yang dipahami dari
ayat-ayat Surat Ar Ruum, dimana dinyatakan bahwa tujuan keluarga adalah untuk mencapai
ketenteraman dan kebahagiaan dengan dasar kasih sayang. Yaitu keluarga yang saling
cinta mencintai dan penuh kasih sayang, sehingga setiap anggota keluarga merasa
dalam suasana aman, tenteram, tenang dan damai, bahagia dan sejahtera namun
dinamis menuju kehidupan yang lebih
baik di dunia maupun di akhirat. Sementara menurut Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam
dan Urusan Haji Nomor D/71/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Gerakan
Keluarga Sakinah Bab III Pasal 3 dinyatakan bahwa keluarga sakinah adalah
keluarga yang dibina atas perkawinan yang
sah, mampu memenuhi
hajat spiritual dan material
yang layak dan
seimbang, diliputi suasana kasih sayang antar anggota keluarga dan
lingkungannya dengan selaras, serasi
serta mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam
nilai-nilai keimanan, ketaqwaan
dan akhlak mulia.
Mencermati tahapan-tahapan dalam keluarga sakinah, kita
dapat memahami bahwa secara umum konsep keluarga sakinah tidak jauh berbeda
dengan konsep keluarga sejahter yang secara eksplisit telah dicantumkan dalam
Undang Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera. Paling tidak, unsur-unsur yang mendasar seperti perkawinan yang sah, terpenuhinya
kebutuhan materiil dan spiritual yang layak, serta terjalinnya hubungan yang
harmonis di antara anggota keluarga serta dengan masyarakat, telah menunjukkan
kesamaan persepsi. Kesamaan persepsi tersebut akan terlihat jelas apabila kita mencermati indikator
tahapan-tahapan keluarga sejahtera yang dimanifestasikan dalam bentuk Keluarg
Pra Sejahtera, KS I, KS II, KS III dan KS III Plus. Hal ini dapat kita maknai,
dalam konteks yang lebih luas, agama Islam telah memberikan kontribusi yang tidak
ternilai harganya dalam upaya mewujudkan keluarga sejahtera di Indonesia. Berbicara
mengenai upaya mewujudkan keluarga sejahtera, tentu kita tidak akan lepas empat
aspek yang menjadi bidang garapan pokok dalam Keluarga Berencana (KB) sebagaimana
tercantum dalam pengertian KB menurut Undang Undang Nomor 10 Tahun 1992 Bab I
Pasal 1 Ayat 12, yakni Pendewasaan Usia Perkawinan, Pengaturan Kelahiran, Pembinaan
Ketahanan Keluarga dan Peningkatan Kesejahteraan Keluarga. Di sini agama Islam
telah memberikan gambaran yang jelas di setiap aspek, yang secara langsung
maupun tidak langsung mencerminkan dukungan positif agama
Islam terhadap upaya mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera.
Terkait dengan
aspek Pendewasaan Usia Perkawinan, meskipun dalam
Islam tidak ada ketetapan usia kawin, namun merujuk pada Al Qur’an Surat
An Nisaa’ Ayat 6, disyaratkan bahwa mereka yang melaksanakan perkawinan harus
sudah cukup umur, dan telah cerda (pandai) memelihara harta.Hal tersebut dapat
kita terjemahkan bahwa perkawinan dalam
Islam baru dapat dilaksanakan bila
pria atau wanitanya telah mencapai
kedewasaan (fisik maupun psikis). Selain itu, sudah mampu mengatur ekonomi keluarga
sebagai modal dasar untuk mencapai keluarga yang bahagia dan sejahtera. Pertimbangannya,usia
kawin mengandung makna biologis, sosio-kultural, dan Demografis.Secara biologis,hubungan
kelamin dengan isteri yang terlalu muda (yang
belum dewasa secara fisik) dapat menyebabkan nyeri kemaluan,cabikan dan robekan.
Lagi pula, apabila terjadi kehamilan, maka hal itu akan membawa resiko besar
terhadap si ibu maupun anak.Secara
sosio-kultural,pasangan tersebut (terutama si istri) harus
mampu memenuhi
tuntutan sosial perkawinan,mengurus rumah tangga dan membesarkan anak-anak.
Usia yag terlalu muda bisa menyebabkan tidak hadirya unsur yang disebutkan
dalam Al Qur’an,yaitu hidup dalam
ketenteraman (sakan). Secarademografis (kependudukan),usia kawin
yang lebih tinggi merupakan salah satu cara dalam mengurangi
kesuburan tanpa penggunaan kontrasepsi.
Sementara
itu, terkait dengan aspek Pengaturan Kelahiran,
meskipun dalam Islam tidak ada
pembatasan tentang jumlah anak yang
dilahirkan,namun ada harus memperhatikan
kualitasnya. Al-Qur’an dalam Surat Al-Ma’idah ayat 100 telah mengingatkan kepada kita bahwa nilai
terletak pada kualitas bukan kuantitas.
Nabi Muhammad SAW sendiri sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hakim, menyadari
bahwa mempunyai terlalu banyak anak tanpa sarana untuk merawat mereka merupakan
cobaan yang besar. Sementara itu, tokoh besar kaum mukmin Ibnu
’Abbas,menyatakan bahwa mempunyai anak yang terlalu banyak akan membawa kepada kesulitan.Sementara itu,
upaya
pengaturan kelahiran melalui penjarangan anak dalam Islam, tercermin dari Surat
Al-Baqarah Ayat 233 yang menyatakan bahwa para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,terutama bagi mereka
yang ingin menyempurnakan penyusuan. Pada ayat lain, penyapihan anak disebutkan
berlangsung dua tahun (Surat Luqman Ayat 14). Ini berarti, apabila dua tahun
penyapihan itu ditambah dengan enam bulan yang merupakan waktu minimum
kehamilan untuk dapat menghasilkan seorang anak dalam keadaan normal,maka
jumlah seluruhnya menjadi tiga puluh bulan sebagaimana di sebutkan dalam Surat
Al-Ahqaf Ayat 15.Beberapa ayat tersebut menjadi bukti bahwa Islam menganjurkan
penjarangan anak sehingga memungkinkan si
ibu menyusui anaknya dengan makanan tambahan sesuai pertumbuhan si anak.
Selama periodeini,kehamilan baru dienggankan.Nabi Muhammad SAW sendiri telah memperingatkan wanita supaya
tidak hamil di masa penyusuan anak, dengan menamakan hal itu al-ghail,ghailah, atau ghiyal (serangan kepada si anak). Upaya menjarangkan
kelahiran anak ini secara langsung
maupun tidak langsung berkaita erat dengan upaya meningkatkan kesejahteraan
keluarga. Karena dengan jarak anak yang cukup, orangtua
khususnya ibu
tetap dalam kondisi sehat dan akan lebih leluasa dalam bekerja mencari rezeki
di jalan Allah SWT.
Selanjutnya,
terkait dengan aspek Pembinaan Ketahanan Keluarga, Agama Islam telah memberikan
tuntunan dalam bentuk kewajiban dan tanggung jawab suami kepada isteri dan
sebaliknya serta kewajiban dan tanggung jawab orangtua terhadap anak-anaknya dan sebaliknya. Bila
semua kewajiban dan tanggung jawab dari masing-masing pihak dapat dipenuhi
niscaya keluarga akan berjalan tenteram,
tidak ada perselisihan, percekcokan maupun kasus-kasus perselingkuhan,
perzinaan yang dapat memperlemah ketahanan keluarga mereka,karena
perceraian,terserang penyakit kelamin dan atau HIV/AIDS. Anak-anak juga tidak
akan terlantar, sehingga kasus anak kelaparan, anak menjadi gelandangan atau kasus kenakalan anak/remaja
dengan segala konsekuensinya dapat dihindari. Bentuk-bentuk kewajiban dan
tanggung jawab suami adalah memimpin dan membimbing keluarga lahir batin,
melindungi isteri dan anak-anak, memberikan nafkah lahir dan batin sesuai
dengan kemampuan, mengatasi keadaan dan
mencari penyelesaian secara bijaksana serta tidak bertidak
sewenang-wenang. Sementara bentuk-bentuk kewajiban dan tanggung jawab isteri adalah menghormati
dan mencintai suami,mengatur urusan rumah
tangga sebaik-baiknya, dan
memelihara serta menjaga kehormatan rumah tangga. Terhadap anak,
orangtua berkewajiban merawat dan mendidik sebaik-baiknya.
Hal ini dapat dari 10 hak anak yang menjadi
pencerminan dari kewajiban dan tanggung jawab orangtua, yaitu:
(1) Hak akan
kesucian keturunan,
(2) Hak untuk hidup,
(3) Hak atas keabsahan dan nama yang baik,
(4) Hak akan penyusuan, tempat kediaman,
pemeliharaan, termasuk perawatan kesehatan
dan nutrisi,
(5) Hak untuk pengaturan tidur yang terpisah,
(6) Hak
keamanan di masa depan,
(7) Hak ataspendidikan
agama dan perilaku yang baik,
(8) Hak atas
pendidikan dan latihan olah raga serta bela diri,
(9) Hak atas perlakuan yang adil,
(10) Hak bahwa
semua dana yang digunakan untuk menafkahi mereka hanya berasal dari
sumber-sumber yang halal.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menguraikan tentang hak-hak
anak tersebut dapat dilihat pada Surat Al-An’am Ayat 151, Surat Al-Isra’ Ayat 31, Al Baqarah Ayat 233 dan beberapa hadist nabi.
Akhirnya terkait dengan aspek Peningkatan Kesejahteraan Keluarga,Agama
Islam telah memberikan penuh pada
seluruh keluarga untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Hal ini tidak saja tercermin dari
Ayat-ayat dalam Al-Qur’an, tetapi juga dalam
Hadist.Namun demikian,upaya
mencari rezeki yang dilakukan hendaklah dengan cara yang halal. Nabi Muhammad
SAW bersabda dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi antara lain
sebagai hak anak atas oragtuanya ialah bahwa orangtua mengajarinya menulis,
berenang, memanah dan hanya memberinya rezeki
yang hahal.Dari hadist tersebut kita dapat mengetahui bahwa semua dana dan sumber yang digunakan untuk
nafkah anak-anak harus bersumber dari pendapatan yang sah dan halal. Selanjutnya upaya pemberdayaan ekonomi dalam
rangka peningkatan kesejahteraan
keluarga oleh pemerintah sebagai bagian dari upaya menurunkan
kemiskinan,dalam Islam dianjurkan
dengan meningkatkan ekonomi kerakyata yang dilaksanakan dengan mengembangkan
koperasi masjid, majelis taklim, LMS Agama dan Kelompok Keluarga Sakinah serta
membentuk Desa Binaan Gerakan Keluarga
Sakinah.
Dari
uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Agama Islam sangat mendukung Upaya membangun keluarga yang sejahtera. Bentuk
dukungan ini bukan hanya sebatas pada
upaya mendewasakan usia perkawinan, pengaturan kelahiran atau pembinaan
ketahanan keluarga, tetapi juga upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga
yang bersangkutan. Dan hal-hal
tersebut telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW,bukan sekedar ajakan melalui sabda-sabdanya,
tetapi juga melalui contoh dalam kehidupan nyata. Karena Nabi Muhammad SAW
adalah seorang pedagang yang ulet dan tangguh,sehingga kehidupan
keluarganya dalam kondisi bahagia
dan sejahtera, yang tercermin dari riwayat kehidupan beliau sebagaimana
disampaikan oleh sahabat-sahabat beliau dalam catatan sejarah.
0 comments:
Post a Comment