A. Pengertian
Istishab
Pengertian Al Ihtihsab secara bahasa yaitu
menuntut bersahabat, atau menuntut beserta atau mencari rekan dan menjadikannya
sahabat. Adapun Pengertian istishab cecara terminilogi sebagaimana menurut
ulama ushul fiqh yaitu menetapkan hukum pekerjaan yang ada pada masa lalu,
kaerna disangka tidak ada dalil pada masa yang akan datang.
Menurut Al-Asnawy (772 H) bahwa istishab
adalah penetapan hukum terhadap suatu perkara dimasa selanjutnya atas dasar
bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang
mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut.
Sementara menurut imam As Syaukani bahwa
arti istishab yaitu menghukumkan sesuatu hukum sama seperti hukum pada masa
lalu sehingga ada dalil yang mengubahnya. Sedangkan menurut Ibnu Qayim Istishab
yaitu menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan suatu
yang memang tiada sampai ada bukti yang merubah kedudukannya.
Jadi dari pengertian diatas, istishab adalah menjadikan hukum suatu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap
berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan
hukum itu.
Jadi dari pengertian di atas, istishab
adalah menjadikan hukum suatu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap
berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan
hukum itu.
Contonya, seorang yang telah yakin bahwa
adia telah berwudhu, dianggap tetap berwudhu selama tiada bukti yang
membatalkan wudhunya keraguan atas was-wasnya tidak membatalkan wudhu tersebut.
Isitishab terbagi kedalam 4 macam pembagian yaitu:
1. IstishabAl-Ibahah Al-Ashliyyah (Istishab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan
dalil lain yang menjelaskannya):
Yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa
mudharat keberadaannya diakui oleh syara dan akal.
Terdapat kaedah fiqh yang selaras dengan istishab Al-Ibahah
Al-Ashliyyah yaitu:
الأصل
فى الأشياء الإباحة
“Hukum asal sesuatu adalah kebolehan”
Terdapat firman Allah yang selaras dengan ketentuan istishab
Al Ibahah Al-Ashliyyah yaitu:
Artinya:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu” (QS. Al-Baqarah: 29)
Ayat ini menjelaskan bahwa semua ciptaan
Allah swt di dunia yaitu untuk kemanfaatan manusia. Maka bolehlah manusia
mengambil manfaatnya seperti dimakan, diminum. Selagi ada dalil yang melarang
manusia untuk menggunakannya dan ada nash yang melarangnya maka ia wajib
meninggalkan perkara tersebut.
2. IstishabAl-Bara’ah Al-Ashliyah, atau hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas
dari beban dan tanggungan apapun, sehingga datangnya dalil atau bukti yang
memeberikan ia untuk melakukan atau mempertanggung jawabkan sesuatu.
Contohnya: Allah swt berfirman yang artinya:
“Orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang memasukkan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata.
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (mengambil riba) dan
urusannya terserah kepada Allah. Orang yang kembali mengambil riba maka orang
itu adalah penghuni-penghuni mereka kekal di dalamnya”.
Selepas turunnya ayat tentang hukum
haramnya memakan riba orang Islam bimbang adakah harta yang didapat dari cara
riba sebelum turunnya ayat tersebut. Maka dalam ayat ini telah dijelaskan bahwa
perkara jual beli. Sebelum turunnya ayat ini tentang pengharaman riba yaitu
dibolehkan berdasarkan prinsif bahwa asal sesuatu terlepas dari pada bebanan
(taklif).
3. Istishabhukum ialah istishab yang berdasarkan atas prinsip bahwa sesuatu hukum etap
berjalan selama tidak ada dalil yang mengubahnya, selaras dengan itu hukum
boleh dan larangan tentang suatu hukum tetap akan berjalan sehingga ada dalil
yang melarangnya untuk yang mubah dan ada yang mengharuskannya perkara yang
dilarang.
4. Istishab AlWasf yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan bahwa sifat yang diketahui
ada sebelumnya masih tetap ada sehingga ada bukti yang mengubahnya, seperti
sifat hidup bagi orang yang hilang, sifat ini dianggap masih tetap melekat pada
orang yang hilang sampai ada indikator atas kematiannya kafalah
(Jaminan/tanggungan adalah sifat syar’I yang melekat pada orang yang menanggung
hingga ia membayar hutangnya).
Ulama fiqh sepakat menggunakan 3 macam
istishab yang telah dibahas di atas. Adapun istishab Al-Wasf, diantara ulama
fiqh masih terjadi perbedaan pendapat mengenai criteria pemakaian istishab tersebut.
Ulama mazhab Syafi’I dan Hambali
menggunakannya secara mutlak artinya Istishab ini boleh dijadikan sebagai dalil
dalam menentapkan hukum, baik dalam perkara yang menimbulkan hak yang baru
maupun dalam mempertahankan hak yang sudah ada.
Contohnya, ialah orang yang hilang,
menurut Isitishab al Wasf seseorang yang telah hilang dan tidak tahu tempatnya
tetap dianggap sampai ada bukti yang menunjukkan orang tersebut telah
menigngal. Kalau orang itu masih hidup maka orang tersebut akan mendapat haknya
seperti mana hak orang hidup yang lain seperti harta dan istrinya masih
dianggap miliknya, dan mendapat waris harta jika ahli waris dan istrinya telah
meninggal.
Sementara ulama mazhab Hanafi dan Maliki
memakai Istishab Al-Wasf sebagai sifat terbatas pada hal yang bersifat
penolakan. Bukan bersifat penetapan. Artinya istishab itu tidak menerima
masuknya hak-hak baru bagi ampunya sifatnya, akan tetapi mempertahankan hak-hak
yang telah dimilikinya.
Manakala ada kalangan ulama mutakallimin
menyatakan bahwa istishab tidak boleh dijadikan sebagai dalil mereka menyatakan
hukum telah ditetapkan pada masa lalu mestilah bersandar kepada dalil, begitu
juga menetapkan perkara sekarang dan masa yang akan datang.
Pendapat ulama mutaakhirin menyatakan
boleh menerima Istishab sebagai hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada
sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa akan datang
sehingga ada dalil mengubahnya. Namun istishab tidak boleh digunakan menetapkan
hukum yang aka nada (baru).
0 comments:
Post a Comment